Upload Judul Baru…

Terima kasih untuk rekan-rekan yang selalu memberikan support dan merelakan koleksinya untuk di share dengan sesama penggemar Dagelan Mataram, khususnya Pandemen Basiyo.

File yang baru sempet kami upload antara lain berjudul “Basiyo – Jatuh Cinta” dan “Basiyo – mBarang”, pada judul mBarang cerita singkatnya sebagai berikut;

Basiyo adalah seorang pemilik kelompok kesenian yang pernah berjaya, kemudian berangsur bisnis entertaintment-nya mengalami kemunduran dan mulai ditinggalkan rekan kerjanya yang melabuhkan ke kelompok lain untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengembangkan potensi.

Pada suatu saat datanglah seseorang ke kediaman Basiyo dengan maksud melakukan negosiasi dalam rangka mengajukan penawaran kapada kelompok kesenian yang dipimpin Basiyo tersebut, untuk menjadi pengisi acara. Negosiasi tersebut berlangsung cukup lancar dengan beberapa tawar menawar pada beberapa poin kesepakatan, sebelum akhirnya tercapai kata sepakat.

Kesempatan langka ini langsung ditindaklanjuti oleh Basiyo dengan menghubungi rekan-rekan kerjanya dahulu, untuk terlibat dalam proyek pertunjukan itu, kemudian dilanjutkan dengan penetuan judul performing art-nya, pembagian peran, dan tentu saja pembagian honorarium. Mereka pernah menjadi satu kelompok, jadi adaptasi untuk latihan peran bukan hal yang sulit.

Hari yang telah ditentukan pada kesepakatan semula telah tiba, Basiyo dan rekannya mendatangi lokasi pertunjukan dengan sisa-sisa semangat kelompok yang dulu pernah berjaya. Selanjutnya pihak penyelenggara menerima kedatangan mereka dan langsung dipersilakan untuk mengisi schedule pertunjukan mereka karena waktunya memang secara kebetulan adalah pertunjukan wayang orang.

Setelah beberapa saat pertunjukan berlangsung Basiyo dan rekan beserta crew menyadari terdapat ketidakberesan dalam pertunjukan itu. Mereka terperanjat setengah mati saat menyadari bahwa mereka melakukan pementasan di kuburan…..

monggo.. silahkan nyedot dan menikmati pertunjukannya…..

Basiyo – Jatuh Cinta : http://www.4shared.com/audio/4_8xOKYc/Basiyo_-_Jatuh_Cinta.htm

Basiyo – mbarang : http://www.4shared.com/audio/cbY5Sg7J/Basiyo_-_mBarang.htm

Sangkan Paraning Dumadi

Dagelan Mataram

 

 

Gusti Pangeran Hangabehi, bangsawan kraton Yogyakarta, putra dalem Sultan Hamengkubuwono VIII, seperti bangsawan kraton umumnya, mempunyai seperangkat abdi dalem yang bertugas melayani segenap kebutuhannya. Di antara para abdi dalem itu, adalah sekelompok yang diberi nama abdi dalem oceh-ocehan, yaitu para abdi dalem yang secara khusus mempunyai tugas menghibur dan membuat tertawa orang yang melihat tingkah serta mendengarkan ocehan mereka.

 

Dalam tradisi kraton yang tidak begitu jelas kapan dimulainya, dan diduga akibat pengaruh cerita-cerita kuno serta berkaitan dengan kepercayaan dan kebangsaan raja ini, dimasukkanlah ke dalam kelompok abdi dalem oceh-ocehan ini orang-orang yang mempunyai cacat-cacat tubuh dan kelucuan-kelucuan tubuh alamiah, yang atas perintah raja sengaja dicari dari seluruh penjuru negeri. Pada upacara upacara kraton tertentu, seperti upacara perkawinan, orang orang aneh tersebut diberi tugas untuk melakukan upacara yang disebut edan-edanan di depan kedua mempelai. Mereka naik kuda lumping sambil bergerak-gerak dan menari-nari.

 

Pangeran Hangabehi sangat menaruh perhatian terhadap kesenian, terutama sekali terhadap humor. Pada setiap hari kelahirannya, pangeran memanggil abdi dalem oceh-ocehannya untuk menceritakan pengalaman pribadi ataupun pengalaman orang lain yang lucu-lucu, hingga yang mendengarkan tertawa semuanya. Pada mulanya pengalaman yang diceritakan itu adalah pengalaman yang benar-benar dialami, akan tetapi berhubung setiap kali mereka harus bercerita seperti itu, perbendaharaan lucu merekapun habis. Mereka mulai menceritakan pengalaman-pengalaman rekaan, bahkan omong asal omong pokoknya lucu dan pendengarnya merasa terhibur. Pangeran Hangabehi agaknya sangat bergembira dengan hal ini. Oleh karena harus main di depan kerabat bangsawan kraton, maka para abdi dalem ini juga harus mengindahkan sopan-santun.

 

Di halaman Dalem Ngabean, tempat Pangeran Hangabehi berdiam, berdirilah sebuah pemancar radio milik Belanda yang diberi nama MAVRO (Mataramsche Vereneging Radio Omroep). Salah satu siaran rutin MAVRO adalah uyon uyon gending Jawa. Atas prakarsa sang Pangeran yang sudah barang tentu mempunyai kesempatan luas untuk menyelenggarakan siaran di radio Belanda itu, lelucon-lelucon abdi dalem oceh-ocehannya disiarkan sebagai selingan pada siaran uyon-uyon gending Jawa tersebut. Selingan ini diberi nama “dagelan”. Para abdi yang mengisi siaran “dagelan” itu antara lain, adalah Den Bekel Tembong (RB Lebdojiwo), Den Jayengwandi (RB Jayengwandi), Den Jayengdikoro, dengan tambahan baru Pardi Cokrosastro untuk membawakan peran wanita dan kemudian disusul lagi Saiman, juga pemeran wanita. Selanjutnya untuk Iebih memantapkan nama, “dagelan” yang disiarkan lewat MAVRO ini oleh seorang yang bernama RM Marmadi diberi nama “Dagelan Mataram”.

 

Di luar Puri Ngabean, pada pertunjukan kesenian rakyat yang bobot hiburannya selalu lebih besar dan bobot keindahan maupun keagungannya, humor tampak selalu ada. Humor ini diketengahkan dan dimunculkan dengan memakai gerak, tari, tingkah, nyanyian ataupun cetusan dan ungkapan yang semuanya sengaja dilucu-lucukan agar para penontonnya tertawa dan terhibur (1908).

 

Ketoprak, sebagai satu-satunya kesenian rakyat yang paling populer dan digandrungi pada saat itu, sudah tentu juga mengandung humor yang demikian.

Berkiblat pada cerita-cerita Babad Tanah Jawa serta cerita tentang kehidupan kraton lainnya, Ketoprak mengetengahkan imitasi dan kehidupan kraton yang diceritakannya. Di antaranya juga tentang adanya para abdi dalem, lengkap dengan segala tugas yang harus dikerjakannya untuk para bendara. Para bendara umumnya adalah tokoh-tokoh utama dari cerita yang dibawakan. Para abdi dalem dalam kraton sesungguhnya mempunyai tugas sebagai penasehat pada saat bendaranya mengalami kesulitan, memberi pelayanan untuk memenuhi segala kebutuhan sang bendara serta sebagai penghibur atau penglipur lara ketika bendaranya sedang bersedih.

 

Perbedaannya adalah, kalau pada kraton yang sesungguhnya para abdi dalem itu terdiri dari banyak orang dan mempunyai bidang tugas sendiri-sendiri, dalam ketoprak abdi dalemnya cuma terdiri dan satu dua orang dengan tugas rangkap. Abdi dalem ini untuk tokoh lain-lain di sebut punokawan, sedang untuk tokoh wanita disebut emban. Dalam pertunjukan ketoprak, acara humor dan lelucon-lelucon disampaikan oleh pembawa peran punokawan atau emban. Pembawa peran emban ini dulunya selalu laki-laki, kemudian seiring dengan kemajuan jaman, wanita mulai memerankannya.

 

Pada mulanya, lelucon-lelucon ketoprak itu merupakan bagian atau unsur yang terlibat dalam cerita, sesuai dengan jalan ceritanya. Selanjutnya, untuk memperbesar kadar hiburan dan pertunjukannya dan dalam rangka persaingan antara rombongan Ketoprak, acara lelucon mulai diberi porsi yang lebih besar, bahkan ada yang disendirikan. Sekitar tahun 1935, rombongan Ketoprak keliling dari Yogyakarta yang bernama “Mardi Wandowo”, selalu menyelenggarakan pertunjukan khusus lelucon sebelum pentas ketoprak dimulai. Pertunjukan seperti ini juga disebut dagelan. Mardi Wandowo memberi nama pertunjukan dagelannya itu “Ketawa Sebentar”. Acara ini ditiru juga oleh rombongan ketoprak lainnya, seperti Kertonaden, Mudo Utomo, Krido Mudo, Krido Raharjo dan sebagainya.

 

Oleh para penonton, acara dagelan itu disebut sebagai acara pertunjukan ekstra. Oleh karena nama rombongan Ketoprak lainnya, seperti Kertonaden, Mudo Utomo dan lain-lainnya muncul dan rasa kebanggaan daerah, seperti halnya dagelan Mataram yang disiarkan oleh MAVRO, maka kelompok dagelan diumumkan pula dengan nama Dagelan Mataram.

 

Tokoh dagelan yang muncul dari kalangan ini antara lain Basiyo, Ranu Domble, Cokro Supang, Joyo Blendang, Darsono dan jauh kemudian ada Bu Tik. Bu Tik inilah wanita yang pertama kali memerankan tokoh emban. Sementara itu Dagelan Mataram yang disiarkan melalui MAVRO tetap berjalan terus secara rutin. Untuk membedakan diri dengan Dagelan Mataram diluar MAVRO, perkumpulan ini diberi nama “Dagelan Mataram Barisan Kuping Hitam”. Nama “Kuping Hitam” diambil dan ciri Den Bekel Tembong (RB Lebdojiwo) yang telinganya berwarna hitam karena ada tembong-nya.
Peristiwa mi terjadi di sekitar tahun 1938. Anggota kelompok ini kemudian bertambah menjadi Den Bekel Tembong, Den Karto Musito, Den Jayeng Suwandi, Karto Togen, Atmonadi, Notopurpoko dan Pardi Cokrosastra sebagai ketuanya.

 

Dagelan Mataram “Kuping Hitam” ini terus mengadakan siaran. Dari sekedar selingan pada acara uyon-uyon gending Jawa, porsinya lambat laun meningkat sampai tiap siaran membawakan cerita-cerita tertentu, dengan gending Jawa tampil sebagai pengiring (ilustrasi) dan sebagai selingan antar adegan yang berlangsung.

 

Ketika tentara Jepang datang mengusir Belanda, siaran Dagelan Mataram “Kuping Hitam” tetap berlangsung melalui radio yang kemudian dikuasai oleh Jepang.
Siaran mereka terus berlangsung pula sampai masa permulaan kemerdekaan dan kemudian melalui Radio Republik Indonesia yang baru saja lahir (1945). Akhirnya pendiri dan anggota “Dagelan Mataram Barisan Kuping Hitam” menjadi Unit Kesenian Jawa RRI Yogyakarta.

 

Unit Dagelan Mataram ini kemudian terus dipelihara sampai saat ini dan dimasukkan Seksi Kesenian Daerah. Nama “Kuping Hitam” bagi rombongan Dagelan Mataram RRI ini dipertahankan sampai tahun 1952. Kemudian rombongan ini cukup dikenal sebagai “Dagelan Mataram RRI Yogyakarta”. Pada masa Proklamasi Kemerdekaan 1945 – 1946, tokoh teater Usmar Ismail bersama Djayakusuma, membentuk rombongan sandiwara berbahasa Jawa – Indonesia, untuk menghibur para pejuang, sekaligus juga berfungsi sebagai penerangan dan membangkitkan semangat juang untuk mempertahankan kemerdekaan. Sandiwara ini kemudian diberi nama SRI, kependekan dan Sandiwara Rakyat Indonesia.

 

Dengan tujuan yang sama, atas prakarsa Mas Bei Jogoyono (Sindusastrowiyon) dikumpulkanlah beberapa pendagel dan dibentuklah sandiwara Dagelan “Cabe Lempuyangan”. Sementara itu, Jawatan Penerangan Republik Indonesia yang baru lahirpun, memiliki unit penerangan yang bersifat humor dengan memakai mobil unit berpengeras suana yang bergerak dari tempat ke tempat dimana banyak orang berkumpul. Unit ini menamakan diri “Rasogel” (Radio Sonder Gelombang).

 

Sandiwana “Cabe Lempuyangan”, selanjutnya dipergunakan oleh Jawatan Penerangan untuk memperkuat unit Rasogel. Sandiwara ini pun kemudian berkembang dan yang semula hanya obrolan-obrolan biasa menjadi bentuk permainan (1948). Pertunjukannya dilakukan di atas mobil unit, dengan iringan gamelan dari piringan hitam (gramaphone) yang listriknya diambil dan mesin diesel yang dibawa ke mana mana.

 

Pemain-pemainnya semula adalah pria semua, jika ada peran wanita, yang memainkan terpaksa pria. Ketika pemain Ketoprak radio “Rahardjo” yang bemama Siti Hasiyah diminta bergabung ke Rasogel (1950), barulah ada pemain wanita dalam rombongan sandiwara dagelan Jawatan Penerangan ini.

 

Pemain wanita ini kemudian hari terkenal dengan nama Bu Tik. Pemain-pemain dagelan pada waktu itu antara lain Sastro Siwi, Rahmat, Kasiman, Darsono, Sismadi dan Bu Tik. Pada tahun 1957 dalam rombongan ini ditambahkan seorang pemain kendang terkemuka, yang juga merupakan salah satu tulang punggung Dagelan Srimulat di Surabaya, bernama Hardjo Gepeng. Penambahan ini dilakukan karena beberapa pemain sandiwara Japen ditugaskan di Riau untuk menghibur di sana. Unit sandiwara dagelan dalam Jawatan Penerangan Yogyakarta terus dipertahankan sampai saat ini (th. 1980).

 

Pemain-pemainnya diangkat sebagai pegawai yang mendapatkan gaji setiap bulan. Unit ini sekarang bernama Dagelan “Gudeg Yogya”. Di samping mengisi siaran rutin di RRI, Dagelan Mataram Bekel Tembong pun giat menyelenggarakan pertunjukan di luar. Rombongan ini sangat disegani dan dihormati oleh rombongan-rombongan dagelan lainnya serta dianggap sebagai senior di kalangan mereka.

 

Sebaliknya, Bekel Tembong dan kawan-kawannya pun melihat adanya pembaharuan-pembaharuan yang dibawa oleh rombongan dagelan yang lebih muda. Pada satu atau dua kali kesempatan, mereka bermain bersama-sama. Pada tahun-tahun selanjutñya, bermunculan rombongan-rombongan dagelan, baik yang bernaung di bawah instansi tertentu seperti Urril Innindam 2/VII Yogyakarta, maupun kelompok-kelompok lepas dan perseorangan. Rombongan-rombongan itu, terutama yang membawakan cerita, tampak masih dipengaruhi oleh gaya yang sudah dibawakan oleh pendahulunya, suatu gaya yang kemudian disebut sebagai gaya “Dagelan Mataram”. Di samping itu, ada pula kelompok yang sekedar memancing ketawa tanpa keinginan menyajikan cerita tertentu dengan tokoh-tokoh tertentu, gaya ini kemudian disebut sebagai gaya “lawakan”.

 

Jadi Dagelan Mataram semula adalah nama bagi rombongan-rombongan dagelan. Nama ini pertama kali dipakai oleh rombongan dagelan yang terdiri dari abdi dalem Puri Ngabean di Kraton Yogyakarta, ketika menyelenggarakan siaran radio melalui radio MAVRO, yang karena populer segera ditiru dan dipakai sebagai nama bagi rombongan-rombongan dagelan lain yang muncul kemudian di Yogyakarta. Rombongan-rombongan baru ini bahkan juga meniru gaya pertunjukannya. Demikianlah, akhirnya nama Dagelan Mataram bukan lagi merupakan nama bagi rombongan tertentu melainkan nama yang menunjukkan gaya tertentu, gaya dagelan dari Yogyakarta, gaya Dagelan Mataram itu sendiri, senantiasa berkembang dari waktu ke waktu, sehingga pengertian Dagelan Mataram itu menjadi miskin. “Dagelan Mataram”, akhirnya adalah nama bagi suatu jenis kesenian daerah Yogyakarta, yang berbentuk sandiwara komedi, dan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar pokok. Dalam bentuknya yang baku, Dagelan Mataram ini mempunyai ciri-ciri seperti telah disebutkan di muka.

 

Unsur lelucon dalam petunjukan teatrikal, seperti pada ketoprak-ketoprak yang kemudian porsinya diperbesar sehingga menjadi pertunjukan dagelan, jauh sebelumnya sebenarnya telah ada dalam kehidupan kesenian di Jawa. Tahun 1891, di Surabaya pernah berdiri sebuah opera Melayu dengan nama “Komedie Stamboel”.

 

Pertunjukannya mengetengahkan cerita-cerita yang diambil dari hikayat 1001 malam seperti “Aladin Dengan Lampu Wasiat”, “Ali Baba Dengan 40 Penyamoen”, “Penangkap Ikan Dengan Soeatoe Jin”, “Si Boengkoek” dan lain-lain. Cerita-cerita ini juga ada yang diambil dari Eropa seperti misalnya Sneeuwitje, Doornroosje, De Schoone Slaapster in Het Bosch dan sebagainya. Sebagai pelengkap pertunjukan “Komedie Stamboel” menyajikan berbagai macam lagu seperti Melayu, Mars, Waits, Polka serta lagu-lagu dansa populer lainnya.

 

Tata busana yang dikenakan di sini serba mewah dan gemerlapan. Dekorasi berwarna-warni dengan gambar-gambar yang sesuai dengan ceritera yang dibawakan. Untuk mengisi waktu luang antara dua babak disajikan selingan berupa lelucon, nyanyian atau tableau. Dan unsur-unsurnya tampak jelas bahwa “Komedie Stamboel” ini merupakan usaha untuk mewujudkan suatu kesenian modern di tengah-tengah kehidupan kesenian tradisional yang sudah ada dan merupakan suatu usaha memasukkan kehidupan kesenian baru ke dalam masyarakat yang telah melakukan, memiliki dan memelihara kelangsungan hidup kesenian tradisionalnya.

 

Dan unsur-unsurnya juga terlihat jelas bahwa “Komedie Stamboel” bermaksud menarik publik dari golongan atas dan golongan yang suka pada dansa-dansi, busana-busana gemerlapan, lagu-lagu Barat modern seperti Waltz, Tango dan Polka. Dalam perkembangan kemudian, “Komedie Stamboel” lebih dikenal sebagai “Komedie Bangsawan”.

 

Rombongan sejenis muncul pula pada sekitar tahun 1926, bemama “Dardanella”. Cerita-cerita yang dibawakan oleh rombongan ini selain gaya “Komedie Stamboel” adalah cerita-cerita khas “Dardanella” seperti De Roos van Serang, Annie van Mendut, Lily van Cikampek, suatu jenis lakon yang kemudian dikenal dengan julukan Indische Roman. Dalam perkembangan “Dardanella” selanjutnya, sedikit demi sedikit rombongan ini mulai meninggalkan gaya “Komedie Stamboel” dan pada akhirnya rombongan “Dardanella” tampil tanpa segala macam nyanyian sedikit pun.

 

Keadaan seperti ini dikembangkan terus, sampai Anjar Asmara, salah satu anggota terpenting “Dardanella” pada tahun 1942 mendirikan perkumpulan “Cahaya Timur” dan memulai tradisi menyajikan lakon atas dasar teks tertulis (script). “Cahaya Timur” inilah bentukan pertama teater modern Indonesia.

 

Humor dan lelucon sebagai bagian dari pertunjukan telah ada lama sebelum kesenian dagelan tampil sebagai seni dan pertunjukan. Paling tidak pada tahun 1891 unsur ini telah ada dan menjadi bagian dari pertunjukan “Komedie Stamboel”.

 

Pada kesenian tradisonal Jawa yang berupa kesenian rakyat, humor dalam pertunjukan baru mulai dijumpai pada tahun 1908, yaitu pada pertunjukan Ketoprak Lesung Wreksodiningratan, yang pada masa kemudian berkembang menjadi Ketoprak Gamelan mulai tahun 1927, sebagai bentuk mula ketoprak yang dikenal dewasa ini. Ketoprak Lesung sendiri sudah ada sejak 1887, tapi masih belum mengandung unsur humor. Ketoprak Lesung peniode pertama itu masih berunsurkan bunyi-bunyian dan tari tarian.

 

Kesenian tradisional Jawa sebelumnya, yang berasal dan kalangan kraton, dapat diduga bersih dari unsur humor. Bentuknya yang utama adalah “Langendriya” yang berunsurkan tari, nyanyi dan gamelan. Tampak juga bahwa belum begitu lama telah terjadi perbedaan publik dari hasilan kesenian. Kesenian modem seperti “Komedie Stamboel” dengan unsun-unsur Barat dan “pop” yang dikandungnya diadakan untuk dan jelas akan disukai oleh golongan elite, golongan yang bergaul dengan kebudayaan gemerlapan dan dansa-dansi Waltz, Tango dan Polka, sedang kesenian tradisional yang merupakan kesenian rakyat seperti ketoprak sudah barang tentu menjadi milik rakyat. Milik “Common People”, orang kebanyakan. Publiknya adalah orang kebanyakan, yang melahirkannya dan yang akan memeliharanya. Kesenian tradisional yang berasal dari kraton seperti “Langendriya” mempunyai publik dari kalangan priyayi dan para bangsawan.

 

 

Sumber : http://ki-demang.com/

Perburuan yang belum berakhir…

Salam,

 

Petualangan berburu dagelan yang telah lama menghilang tersebut, pada saat itu diawali dari obrolan mengenai dagelan-dagelan yang beberapa kali dipentaskan di beberapa tempat di Yogyakarta. Pementasan humoria antara lain diperankan oleh beberapa komedian Yogyakarta, sebut saja Gareng Rakasiwi, Setiawan Tiadatara bersama Plat-ABnya, Kelik Pelipurlara bersama LBHnya yang dulu pernah satu rombongan dengan ganknya Plat-AB, Dibyo bersama Lekas Sembuh (entah sudah sembuh atau belum), dan beberapa pelawak lain dengan ciri khas masing-masing, di beberapa tempat antara lain Purna Budaya UGM, Java Kafe, Boulevard UGM, dan tempat lain.

 

Pada beberapa tahun yang lalu, sekitar akhir 90an dan awal 2000an terdapat beberapa pementasan yang dapat sering menghibur masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya dari berbagai aktivitas kehidupan kota “kecil”, hal ini entah karena ijin keramaiannya mudah dikeluarkan kepolisian, atau sewa tempatnya murah, atau tren hiburan humor sedang hi-rate, atau ide dagelan memang sedang on fire, atau karena alasan lainnya, namun yang pasti dalam waktu yang tidak berselang lama, terjadualkan pementasan genre lawak yang beruntun.

 

Dari obrolan mengenai pementasan lawak tersebut kemudian muncul sebuah nama yang sempat tenggelam, “BASIYO”. “nek kowe pengen ngrungokke dagelan sing tenanan goleko kaset e Basiyo, nek aku mbiyen sok ngrungokke koleksine Bapakku, tapi saiki kaset e do nengndi rareti, yo sesuk tak golekane, nek ora, kowe turuten neng pasar loak ngejaman (Malioboro), mungkin ono sing duwe” Danar Wirawan mencoba untuk menjelaskan dan membrain-stormingkan. Sebaris kalimat itulah kira-kira salah satu titik awal perburuan dimulai.

 

Langkah pertama adalah melebarkan telinga dan membuka mata, mencoba mengumpulkan informasi mengenai keberadaan kaset rekaman Basiyo. Setelah beberapa waktu sebuah obrolan ternyata mengarah ke sasaran. Anes, seseorang yang tinggal di daerah Soragan, Yogyakarta membuka pijakan dengan judul ”Degan Wasiyat” dan ”Maling Kontrang Kantring”. Dua kaset koleksi dari peninggalan orang tuanya tersebut mengawali pencarian panjang dan berliku. Sebenarnya rekan Anes memberikan tiga kaset, ternyata setelah ditreatment kemudian, judulnya adalah ”Palaran Jenggleng”, namun pada saat  saya terima, suara dari rekaman tersebut kurang qualified untuk direkam ulang.

 

Setelah mencicipi dagelan ala Basiyo tersebut akhirnya memang mengakibatkan dampak ketagihan yang luar biasa, dengan hasrat menggebu-gebu memaksakan kaki untuk melangkah, dengan tujuan utama pedagang kaset loak. Pada saat itu tertanam pandangan bahwa rekaman Basiyo sudah tidak diproduksi lagi, ya.. mau gak mau mencari kaset second. Bersama Andreas Hermawan (Aris), tetangga di kampung Srimulyo, Triharjo, Sleman (Tanah Air Beta), berangkatlah dengan sepeda motor (Honda Astrea Star), melaju ke arah Jalan Malioboro, tepatnya di Ngejaman (sekarang Pasar Sore), sebelah Pasar Beringharjo (Jalan A. Yani).

 

Langkah kaki menyusuri trotoar Jalan A. Yani, depan Pasar Beringharjo (selatan Malioboro), pandangan mata tidak melewatkan seinci dagangan yang dipajang, telinga dipertajam sensornya, barangkali ada yang sedang iseng memutar dagelan mataram tersebut. Pada saat berada di sudut Bangunan tua yang terdapat terompet kuno di atasnya, telinga mendengar suara yang sayup-sayup terdengar seperti orang terpingkal-pingkal, naluri mengarahkan langkah ke sumber suara. Setelah menganalisa jenis suara dan dialeknya dapat dipastikan bahwa kaset yang diputar adalah rekaman Basiyo, dapat mengenali karena sudah menikmati Degan Wasiyat dan Maling Kontrang-kantring. Pertanyaan spontan keluar, ”Mas, kaset e didol piro ?” tanyaku, ”Wah, kui dudu nggonku e mas, aku meng nyilih karo bapake sing gek lungguh kae”, timpal seorang penjual kaset. ”Pak, njenengan sing duwe kaset niku, disade pinten ? ndak njenengan nduwe judul liyane ?”.

 

Pertanyaan demi pertanyaan seolah tak sabar untuk mengetahui apa yang akan menjadi penasaran selama ini. ”Woo.. kulo nduwe kathah mas, glo.. sak kerdus…”, jawabnya seraya meyakinkan. ”Hla.. trus sakniki, kasete dietung pinten ?” tanyaku mengejar. ”Ajeng mundut kathah nopo mas ?” balas pedagang itu. ”Nek dietung murah nggih le tuku akeh.

 

Wolong ewu mawon mas” penawaran yang diajukan pedagang itu, harapnya tanpa ditawar lagi. ”Wuahh…. hla kok larang, pun ngeten mawon, sing enten teng kerdus niku kulo tuku kabeh, anggere judule bedo, nek sing podo nggih mboten, dietung limang ewu mawon”. Akhir cerita setelah melalui tawar menawar yang melelahkan, goyang sana goyang sini, sikut sana sikut sini, angka enam ribu rupiah adalah harga yang saya sepakati dengan pedagang kaset loak tersebut. Malam itu saya hanya membawa uang Rp20.000,- ya.. karena niatnya hanya iseng jalan-jalan, tapi berharap menemukan satu atau dua koleksi rekaman Basiyo. Ternyata malam itu merupakan malam keberuntungan, ”sepuluh” judul akhirnya ”ditemukan”/ discovered. Tapi sebagai tanda jadi pemborongan kaset itu, dibuat kesepakatan bahwa saya beli sepuluh kaset itu, tapi saya berikan Rp20.000,- dan saya bawa tiga kaset, selebihnya dilunasi pada hari (malam) berikutnya, karena waktu hampir pukul 9 malam, dan jika musti pulang ambil uang lalu kembali ke pasar loak itu hampir pasti sudah tutup.

 

Sebuah pertanyaan sampingan terlontar, ”Pak, njenengan kok saget angsal kaset e Basiyo kathah saking pundi ?”. ”Nganu mas, kaleh sasi wingi enten toko kaset sing ajeng tutup, trus kaset e do diobral, kulo angsal niki, sebagian” pedagang itu menerangkan. Dengan terselubung tendensi tertentu, pertanyaan berikutnya mengikuti ”Lha tokone kok tutup niku bangkrut nopo ? teng pundi to tokone ?” Berusaha untuk defend, ”Waa… sakniki pun tutup kok mas, pun mboten enten barang-barang e, pun  telas sedoyo”

 

Saya dan Aris tak sabar mendengarkan isi rekaman, ”Disetel neng kos e kancaku wae neng Samirono, ben cepet !” Aris menganjurkan. Laju sepeda motor mengarah ke Samirono, dan hasrat untuk menikmati lawakan dari album lain akhirnya terpenuhi. Malam esoknya tujuh kaset yang tersisa diambil sekaligus melunasi pembayaran.

 

Dalam menikmati dua belas koleksi kaset Basiyo itu, terbesit pemikiran untuk merekam suara dalam kaset tersebut. Pemikiran itu muncul karena gagasan agar mudah diputar menggunakan player dalam komputer (winamp) dan mudah dalam storagenya. Mencari program yang cocok dan tepat dilakukan untuk mengawali, selanjutnya proses konversi dari format analog menjadi digital berlangsung, tape compo Aiwa digunakan dalam proses tersebut. Markas berkumpulnya para binatang jalang di Jongkang, dengan tuan rumah Yudi Priyo Amboro, juga dijadikan ”studio” rekaman kaset (rekaman kok kaset, biasanya sih suara).

 

Naluri untuk berburu belum surut, selanjutnya target pencarian bergeser dari pedagang loak ke toko yang lebih bonafide, dasar pemikirannya adalah ’siapa tahu toko itu masih punya kaset yang ”belum” laku. Kotamas, Podomoro, Bulletin, Popeye, telah dijelajahi. Toko terakhir ternyata masih menjual kaset Basiyo dengan tahun banderol baru, dan memiliki beberapa judul yang belum dipunyai. Namun pola pembelian berubah, dari borongan menjadi pieces alias satu per satu (samadya), hal ini karena satu judul terdapat lebih dari satu copy, sehingga tidak terburu-buru akan habis terjual, selain harganya memang lebih mahal dibanding pasar loak (dana terbatas), maklum saat itu orderan belum lancar. Di Popeye, Jalan Mataram (kalau gak salah), sebelah timur Jl. Malioboro, harga kaset Basiyo berkisar antar Rp9.000,- sampai Rp14.000,- jadi pengkoleksiannya dengan cara menyicil.

 

Seorang tetangga yang lain, Nevita Kumala Sari, anak bungsu dari guru saya waktu di Sekolah Dasar, juga tidak luput dari medan perburuan, hal karena mendapat informasi dari beberapa tetangga yang lain, bahwa kakek dan bapaknya pada jaman dahulu kala, sering memutar dagelan Basiyo. Pangkur Jenggleng pun menambah koleksi.

 

Metode kodifikasi rekaman Basiyo yang dilakukan selama ini ternyata mendapat keringanan bantuan dari seseorang di Gelanggang Mahasiswa UGM. Pak Pinto namanya, konversi dari analog ke dalam format digital ternyata juga dilakukannya, sehingga dengan bantuannya koleksipun bertambah jumlahnya (matur nuwun Pak).

 

Setelah beberapa waktu pencarian terhenti dengan banyak alasan teknis dan non-teknis. Sebenarnya sang Pemburu sudah mulai kehabisan ruang gerak untuk menentukan sasarannya (tapi sesungguhnya konsentrasi dialihkan untuk menyelesaikan tugas belajar, sudah terlalu lama disuspend). Saat itu seorang teman yang bernama Sigit Widya, tetangga rumah yang lain, membuka celah dengan relasinya yang bekerja di sebuah radio swasta di Yogyakarta. Penambahan koleksi pada fase ini juga berjalan mulus dan super simple, hal ini karena pada masa pencarian tersebut banyak mendapatkan tambahan koleksi dalam format mp3, jadi tidak perlu proses konversi.

 

Dalam beberapa tahun koleksi Basiyo hanya disharingkan kepada kalangan terbatas pada teman dan kenalan saja, hal ini bukan untuk membatasi peredarannya, tetapi karena si Pemburu hanya mengenal penggemar dagelan Basiyo hanya itu-itu saja. Pada akhir tahun 2008 realisasi BASIYO: DAGELAN MATARAM FOR HUMAN BEING dapat dilaksanakan dengan mengupload seluruh koleksi yang pada saat itu masih berjumlah 39 judul. Akhirnya proses tersebut dapat berjalan lancar dan seluruh file telah berada di dunia maya, meskipun mencuri waktu dan bandwith di kantor.

 

Mudah-mudahan pada fase perburuan berikutnya masih dapat terkumpul judul-judul yang saat ini telah terrecord, namun banyak terdapat kendala dalam memulai fase perburuan. Segala bentuk bantuan dari sesama penggemar dagelan mataram akan sangat membantu dalam menyebarluaskan rekaman, dan sedapat mungkin seluruh rekaman yang pernah dibuat oleh Almarhum Basiyo dapat disebarluaskan serta dinikmati oleh penggemar dagelan mataram (Basiyonist).

 

Dian M Prabowo mengucapkan maaf yang sedalam-dalamnya kepada para pihak yang kaset dan koleksinya tidak dikembalikan (lha wong koleksi kaset saya yo do amblas je… jan nganti resii..k, tobyat…!, soto iwak babyat), mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa memberikan ganti yang berlimpah dan berlipat (gantine yo kaset lho.., neng berlimpah tur berlipat… hehehe.. malah raiso disetel yo..!?), dan diucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah memberikan kontribusi berupa informasi, kaset, file, kabel buat ngrekam, laptop buat nitip file, harddisk external, flash disk, helm, sandal, mantel hujan, utangan (mugo-mugo wes disaur), dan segala bentuk bantuan lainnya, sehingga file-file rekaman Basiyo dapat tersusun dengan sedemikian rupa dan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan umum.

 

Sekian, salam.

 

 

Cerita ini adalah nyata belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, nama tempat, latar belakang, dan figur lain adalah memang disengaja, karena memang begitu adanya. Apabila nama-nama tokoh dan nama tempat diganti dengan nama fiktif, malah saya yang dituntut dimuka hakim. Dadi repot to..!?

Pak Basiyo

Basiyo adalah pelawak dari Yogyakarta. Dalam penjelasan Sunardian Wirodono, fans berat Basiyo, pelawak Basiyo mampu melintasi batas ruang dan waktu. Meski mungkin bagi sebagian besar Indonesia tidak mengetahui siapa itu Basiyo, namun mereka yang berlatar Jawa (Mataram) relatif mengenalnya. Tidak peduli orangtua, orang muda, orang kota, orang desa, orang berpendidikan dan tidak. Basiyo dipercaya meninggal dalam usia 70-an yakni pada tahun 1984. Jadi, kira-kira, beliau kelahiran 1910-an.

Basiyo terkenal dengan lawakan yang banyak orang mengistilahkan dengan “Dagelan Mataram”. Dagelan Mataram (Yogyakarta) adalah jenis lawakan yang kemudian dipakai oleh Ibu Sri Mulat, untuk pergelaran kelilingnya (1940-an) yang kemudian dijadikan maskot pertunjukannya yang kemudian dikenal bernama Srimulat (Surabaya).

Karena itu, pemain Srimulat pada awal-awalnya adalah pelawak dari Yogyakarta. Dialog dalam lawakan Dagelan Mataram menggunakan Bahasa Jawa sebagaimana yang kemudian juga dipakai oleh Basiyo. Sebagian “sparing partner” dalam lawakannya di antaranya: Darsono, Arjo Gepeng, Suparmi, dan Sugiyem, istrinya sendiri serta teman – temannya yang lain. Kebanyakan, mereka adalah karyawan RRI Nusantara II Yogyakarta, sebagaimana kebanyakan dari mereka ditampung oleh Pemerintah waktu itu. Di antara karya – karya Basiyo misalnya: mBecak, Degan Wasiat, Kapusan, Kibir Kejungkir, Maling Kontrang-kantring, Gathutkaca Gandrung, Besanan, dan masih beberapa lagi lainnya, semuanya mencapai lebih dari 100-an judul.

Ia bukan hanya pelawak, melainkan juga berhasil mempopulerkan jenis gending “Pangkur Jenggleng”, yakni, cara menyanyi (nembang) Jawa yang bisa diselingi dengan lawakan, tanpa kehilangan irama (tone) dari tembang yang sedang dibawakan. Cara memukul gamelan pun, tidak lazim, karena lebih mengandalkan kendang sebagai “dirigen” untuk akhirnya pada ketukan (birama) terakhir dipakai sebagai waktu untuk memukul semua alat musik perkusi (terutama saron) sekeras-kerasnya. Meski menggunakan bahasa Jawa dan “produk lama”, nama Basiyo muncul kembali.

Banyak anak muda (umumnya pekerja kreatif dari Yogyakarta yang bekerja di Jakarta), adalan penggemar Basiyo. Mereka bahkan mengubah audio kaset ke MP3 dan menyebarluaskannya lewat internet. Menurut anak-anak muda itu (tentu saja yang paham bahasa Jawa), lawakan Basiyo jauh lebih bermutu, lebih cerdas, dibandingkan lawakan pelawak-pelawak yang sering muncul di layar kaca televisi sekarang ini. Dalam masa jayanya, Basiyo acap berkolaborasi dengan nama-nama seniman kondang pada dunia dan masanya, seperti Bagong Kussudiardjo, Ki Narto Sabdo, Nyi Tjondrolukito. Beberapa pengagumnya, seperti budayawan Umar Kayam, pelukis Affandi, sastrawan Arswendo Atmowiloto, memuja Basiyo sebagai pelawak yang cerdas, memiliki daya spontanitas dan nalar yang jernih. Hasil karya Basiyo pada umumnya diterbitkan oleh perusahaan rekaman Fajar Borobudur Record ada juga Irma (atau Ira?) kesemuanya di Semarang, meski ada juga yang direkam oleh Lokananta (Sala). Informasi mengenai perusahaan rekaman ini masih belum didapatkan.

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Basiyo

BASIYO RETURN

Wuih…..

akhirnya selese juga, setelah mengantri bandwith yang selalu penuh dan macet..
file rekaman Basiyo yang pada awalnya direkam dalam media pita magnetik (cassette), meskipun pada awal berburu (2002) harus menelusuri toko lowak di seputaran Jl. Malioboro (sampe ngutang pada penjualnya juga, tapi udah dilunasin..), akhirnya proses kedua adalah menkonversi minyak tanah menjadi gas (–> jadi uap/gas minyak tanah donk..), bukan itu poinnya, mengubah format rekaman dalam pita magnetik menjadi digital, yaitu format mp3, format ini dipilih karena ukuran file-nya tidak mengakibatkan borosnya kapasitas harddisk, meskipun kualitas suara sedikit terreduksi.

Proses selanjutnya adalah meng-upload file-file itu untuk dapat dinikmati para pandemen dagelan mataram, untuk menambah pahala, persahabatan, dan sebesar-besar kemakmuran rakyat (kekekek.. mirip salah satu pasal undang-undang). proses ini yang paliii…ng lama, dari cassette menjadi digital sudah selese saat masih tinggal di Yogyakarta, kira-kira waktu ngumpulin koleksi plus konversi sekitar 1-2 tahun (2003-2004), tapi waktu itu mo di upload blum bisa, emang pake kreweng bayarnya, mo beli rokok aja belinya setengah – setengah, jadi rokoknya cuman separo, satu batang, ditaruh trus dibelah pake cutter yang tajam –> nhaa itu maksudnya setengah, jadi susah kan mo ngisapnya.

Akhirnya dari beberapa referensi menyarankan di-upload pake 4shared, Alhamdulillah sekarang semua file rekaman Pak Basiyo telah online dan downloadable, untuk daftar judulnya dapat dipun klik di sini tapi blog ini belum finished alias kebetulan belum jadi, bikinnya juga dadakan, asal dipake buatnge-link ke 4shared.com biar bisa didownload temen-temen.