Dagelan Mataram
Gusti Pangeran Hangabehi, bangsawan kraton Yogyakarta, putra dalem Sultan Hamengkubuwono VIII, seperti bangsawan kraton umumnya, mempunyai seperangkat abdi dalem yang bertugas melayani segenap kebutuhannya. Di antara para abdi dalem itu, adalah sekelompok yang diberi nama abdi dalem oceh-ocehan, yaitu para abdi dalem yang secara khusus mempunyai tugas menghibur dan membuat tertawa orang yang melihat tingkah serta mendengarkan ocehan mereka.
Dalam tradisi kraton yang tidak begitu jelas kapan dimulainya, dan diduga akibat pengaruh cerita-cerita kuno serta berkaitan dengan kepercayaan dan kebangsaan raja ini, dimasukkanlah ke dalam kelompok abdi dalem oceh-ocehan ini orang-orang yang mempunyai cacat-cacat tubuh dan kelucuan-kelucuan tubuh alamiah, yang atas perintah raja sengaja dicari dari seluruh penjuru negeri. Pada upacara upacara kraton tertentu, seperti upacara perkawinan, orang orang aneh tersebut diberi tugas untuk melakukan upacara yang disebut edan-edanan di depan kedua mempelai. Mereka naik kuda lumping sambil bergerak-gerak dan menari-nari.
Pangeran Hangabehi sangat menaruh perhatian terhadap kesenian, terutama sekali terhadap humor. Pada setiap hari kelahirannya, pangeran memanggil abdi dalem oceh-ocehannya untuk menceritakan pengalaman pribadi ataupun pengalaman orang lain yang lucu-lucu, hingga yang mendengarkan tertawa semuanya. Pada mulanya pengalaman yang diceritakan itu adalah pengalaman yang benar-benar dialami, akan tetapi berhubung setiap kali mereka harus bercerita seperti itu, perbendaharaan lucu merekapun habis. Mereka mulai menceritakan pengalaman-pengalaman rekaan, bahkan omong asal omong pokoknya lucu dan pendengarnya merasa terhibur. Pangeran Hangabehi agaknya sangat bergembira dengan hal ini. Oleh karena harus main di depan kerabat bangsawan kraton, maka para abdi dalem ini juga harus mengindahkan sopan-santun.
Di halaman Dalem Ngabean, tempat Pangeran Hangabehi berdiam, berdirilah sebuah pemancar radio milik Belanda yang diberi nama MAVRO (Mataramsche Vereneging Radio Omroep). Salah satu siaran rutin MAVRO adalah uyon uyon gending Jawa. Atas prakarsa sang Pangeran yang sudah barang tentu mempunyai kesempatan luas untuk menyelenggarakan siaran di radio Belanda itu, lelucon-lelucon abdi dalem oceh-ocehannya disiarkan sebagai selingan pada siaran uyon-uyon gending Jawa tersebut. Selingan ini diberi nama “dagelan”. Para abdi yang mengisi siaran “dagelan” itu antara lain, adalah Den Bekel Tembong (RB Lebdojiwo), Den Jayengwandi (RB Jayengwandi), Den Jayengdikoro, dengan tambahan baru Pardi Cokrosastro untuk membawakan peran wanita dan kemudian disusul lagi Saiman, juga pemeran wanita. Selanjutnya untuk Iebih memantapkan nama, “dagelan” yang disiarkan lewat MAVRO ini oleh seorang yang bernama RM Marmadi diberi nama “Dagelan Mataram”.
Di luar Puri Ngabean, pada pertunjukan kesenian rakyat yang bobot hiburannya selalu lebih besar dan bobot keindahan maupun keagungannya, humor tampak selalu ada. Humor ini diketengahkan dan dimunculkan dengan memakai gerak, tari, tingkah, nyanyian ataupun cetusan dan ungkapan yang semuanya sengaja dilucu-lucukan agar para penontonnya tertawa dan terhibur (1908).
Ketoprak, sebagai satu-satunya kesenian rakyat yang paling populer dan digandrungi pada saat itu, sudah tentu juga mengandung humor yang demikian.
Berkiblat pada cerita-cerita Babad Tanah Jawa serta cerita tentang kehidupan kraton lainnya, Ketoprak mengetengahkan imitasi dan kehidupan kraton yang diceritakannya. Di antaranya juga tentang adanya para abdi dalem, lengkap dengan segala tugas yang harus dikerjakannya untuk para bendara. Para bendara umumnya adalah tokoh-tokoh utama dari cerita yang dibawakan. Para abdi dalem dalam kraton sesungguhnya mempunyai tugas sebagai penasehat pada saat bendaranya mengalami kesulitan, memberi pelayanan untuk memenuhi segala kebutuhan sang bendara serta sebagai penghibur atau penglipur lara ketika bendaranya sedang bersedih.
Perbedaannya adalah, kalau pada kraton yang sesungguhnya para abdi dalem itu terdiri dari banyak orang dan mempunyai bidang tugas sendiri-sendiri, dalam ketoprak abdi dalemnya cuma terdiri dan satu dua orang dengan tugas rangkap. Abdi dalem ini untuk tokoh lain-lain di sebut punokawan, sedang untuk tokoh wanita disebut emban. Dalam pertunjukan ketoprak, acara humor dan lelucon-lelucon disampaikan oleh pembawa peran punokawan atau emban. Pembawa peran emban ini dulunya selalu laki-laki, kemudian seiring dengan kemajuan jaman, wanita mulai memerankannya.
Pada mulanya, lelucon-lelucon ketoprak itu merupakan bagian atau unsur yang terlibat dalam cerita, sesuai dengan jalan ceritanya. Selanjutnya, untuk memperbesar kadar hiburan dan pertunjukannya dan dalam rangka persaingan antara rombongan Ketoprak, acara lelucon mulai diberi porsi yang lebih besar, bahkan ada yang disendirikan. Sekitar tahun 1935, rombongan Ketoprak keliling dari Yogyakarta yang bernama “Mardi Wandowo”, selalu menyelenggarakan pertunjukan khusus lelucon sebelum pentas ketoprak dimulai. Pertunjukan seperti ini juga disebut dagelan. Mardi Wandowo memberi nama pertunjukan dagelannya itu “Ketawa Sebentar”. Acara ini ditiru juga oleh rombongan ketoprak lainnya, seperti Kertonaden, Mudo Utomo, Krido Mudo, Krido Raharjo dan sebagainya.
Oleh para penonton, acara dagelan itu disebut sebagai acara pertunjukan ekstra. Oleh karena nama rombongan Ketoprak lainnya, seperti Kertonaden, Mudo Utomo dan lain-lainnya muncul dan rasa kebanggaan daerah, seperti halnya dagelan Mataram yang disiarkan oleh MAVRO, maka kelompok dagelan diumumkan pula dengan nama Dagelan Mataram.
Tokoh dagelan yang muncul dari kalangan ini antara lain Basiyo, Ranu Domble, Cokro Supang, Joyo Blendang, Darsono dan jauh kemudian ada Bu Tik. Bu Tik inilah wanita yang pertama kali memerankan tokoh emban. Sementara itu Dagelan Mataram yang disiarkan melalui MAVRO tetap berjalan terus secara rutin. Untuk membedakan diri dengan Dagelan Mataram diluar MAVRO, perkumpulan ini diberi nama “Dagelan Mataram Barisan Kuping Hitam”. Nama “Kuping Hitam” diambil dan ciri Den Bekel Tembong (RB Lebdojiwo) yang telinganya berwarna hitam karena ada tembong-nya.
Peristiwa mi terjadi di sekitar tahun 1938. Anggota kelompok ini kemudian bertambah menjadi Den Bekel Tembong, Den Karto Musito, Den Jayeng Suwandi, Karto Togen, Atmonadi, Notopurpoko dan Pardi Cokrosastra sebagai ketuanya.
Dagelan Mataram “Kuping Hitam” ini terus mengadakan siaran. Dari sekedar selingan pada acara uyon-uyon gending Jawa, porsinya lambat laun meningkat sampai tiap siaran membawakan cerita-cerita tertentu, dengan gending Jawa tampil sebagai pengiring (ilustrasi) dan sebagai selingan antar adegan yang berlangsung.
Ketika tentara Jepang datang mengusir Belanda, siaran Dagelan Mataram “Kuping Hitam” tetap berlangsung melalui radio yang kemudian dikuasai oleh Jepang.
Siaran mereka terus berlangsung pula sampai masa permulaan kemerdekaan dan kemudian melalui Radio Republik Indonesia yang baru saja lahir (1945). Akhirnya pendiri dan anggota “Dagelan Mataram Barisan Kuping Hitam” menjadi Unit Kesenian Jawa RRI Yogyakarta.
Unit Dagelan Mataram ini kemudian terus dipelihara sampai saat ini dan dimasukkan Seksi Kesenian Daerah. Nama “Kuping Hitam” bagi rombongan Dagelan Mataram RRI ini dipertahankan sampai tahun 1952. Kemudian rombongan ini cukup dikenal sebagai “Dagelan Mataram RRI Yogyakarta”. Pada masa Proklamasi Kemerdekaan 1945 – 1946, tokoh teater Usmar Ismail bersama Djayakusuma, membentuk rombongan sandiwara berbahasa Jawa – Indonesia, untuk menghibur para pejuang, sekaligus juga berfungsi sebagai penerangan dan membangkitkan semangat juang untuk mempertahankan kemerdekaan. Sandiwara ini kemudian diberi nama SRI, kependekan dan Sandiwara Rakyat Indonesia.
Dengan tujuan yang sama, atas prakarsa Mas Bei Jogoyono (Sindusastrowiyon) dikumpulkanlah beberapa pendagel dan dibentuklah sandiwara Dagelan “Cabe Lempuyangan”. Sementara itu, Jawatan Penerangan Republik Indonesia yang baru lahirpun, memiliki unit penerangan yang bersifat humor dengan memakai mobil unit berpengeras suana yang bergerak dari tempat ke tempat dimana banyak orang berkumpul. Unit ini menamakan diri “Rasogel” (Radio Sonder Gelombang).
Sandiwana “Cabe Lempuyangan”, selanjutnya dipergunakan oleh Jawatan Penerangan untuk memperkuat unit Rasogel. Sandiwara ini pun kemudian berkembang dan yang semula hanya obrolan-obrolan biasa menjadi bentuk permainan (1948). Pertunjukannya dilakukan di atas mobil unit, dengan iringan gamelan dari piringan hitam (gramaphone) yang listriknya diambil dan mesin diesel yang dibawa ke mana mana.
Pemain-pemainnya semula adalah pria semua, jika ada peran wanita, yang memainkan terpaksa pria. Ketika pemain Ketoprak radio “Rahardjo” yang bemama Siti Hasiyah diminta bergabung ke Rasogel (1950), barulah ada pemain wanita dalam rombongan sandiwara dagelan Jawatan Penerangan ini.
Pemain wanita ini kemudian hari terkenal dengan nama Bu Tik. Pemain-pemain dagelan pada waktu itu antara lain Sastro Siwi, Rahmat, Kasiman, Darsono, Sismadi dan Bu Tik. Pada tahun 1957 dalam rombongan ini ditambahkan seorang pemain kendang terkemuka, yang juga merupakan salah satu tulang punggung Dagelan Srimulat di Surabaya, bernama Hardjo Gepeng. Penambahan ini dilakukan karena beberapa pemain sandiwara Japen ditugaskan di Riau untuk menghibur di sana. Unit sandiwara dagelan dalam Jawatan Penerangan Yogyakarta terus dipertahankan sampai saat ini (th. 1980).
Pemain-pemainnya diangkat sebagai pegawai yang mendapatkan gaji setiap bulan. Unit ini sekarang bernama Dagelan “Gudeg Yogya”. Di samping mengisi siaran rutin di RRI, Dagelan Mataram Bekel Tembong pun giat menyelenggarakan pertunjukan di luar. Rombongan ini sangat disegani dan dihormati oleh rombongan-rombongan dagelan lainnya serta dianggap sebagai senior di kalangan mereka.
Sebaliknya, Bekel Tembong dan kawan-kawannya pun melihat adanya pembaharuan-pembaharuan yang dibawa oleh rombongan dagelan yang lebih muda. Pada satu atau dua kali kesempatan, mereka bermain bersama-sama. Pada tahun-tahun selanjutñya, bermunculan rombongan-rombongan dagelan, baik yang bernaung di bawah instansi tertentu seperti Urril Innindam 2/VII Yogyakarta, maupun kelompok-kelompok lepas dan perseorangan. Rombongan-rombongan itu, terutama yang membawakan cerita, tampak masih dipengaruhi oleh gaya yang sudah dibawakan oleh pendahulunya, suatu gaya yang kemudian disebut sebagai gaya “Dagelan Mataram”. Di samping itu, ada pula kelompok yang sekedar memancing ketawa tanpa keinginan menyajikan cerita tertentu dengan tokoh-tokoh tertentu, gaya ini kemudian disebut sebagai gaya “lawakan”.
Jadi Dagelan Mataram semula adalah nama bagi rombongan-rombongan dagelan. Nama ini pertama kali dipakai oleh rombongan dagelan yang terdiri dari abdi dalem Puri Ngabean di Kraton Yogyakarta, ketika menyelenggarakan siaran radio melalui radio MAVRO, yang karena populer segera ditiru dan dipakai sebagai nama bagi rombongan-rombongan dagelan lain yang muncul kemudian di Yogyakarta. Rombongan-rombongan baru ini bahkan juga meniru gaya pertunjukannya. Demikianlah, akhirnya nama Dagelan Mataram bukan lagi merupakan nama bagi rombongan tertentu melainkan nama yang menunjukkan gaya tertentu, gaya dagelan dari Yogyakarta, gaya Dagelan Mataram itu sendiri, senantiasa berkembang dari waktu ke waktu, sehingga pengertian Dagelan Mataram itu menjadi miskin. “Dagelan Mataram”, akhirnya adalah nama bagi suatu jenis kesenian daerah Yogyakarta, yang berbentuk sandiwara komedi, dan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar pokok. Dalam bentuknya yang baku, Dagelan Mataram ini mempunyai ciri-ciri seperti telah disebutkan di muka.
Unsur lelucon dalam petunjukan teatrikal, seperti pada ketoprak-ketoprak yang kemudian porsinya diperbesar sehingga menjadi pertunjukan dagelan, jauh sebelumnya sebenarnya telah ada dalam kehidupan kesenian di Jawa. Tahun 1891, di Surabaya pernah berdiri sebuah opera Melayu dengan nama “Komedie Stamboel”.
Pertunjukannya mengetengahkan cerita-cerita yang diambil dari hikayat 1001 malam seperti “Aladin Dengan Lampu Wasiat”, “Ali Baba Dengan 40 Penyamoen”, “Penangkap Ikan Dengan Soeatoe Jin”, “Si Boengkoek” dan lain-lain. Cerita-cerita ini juga ada yang diambil dari Eropa seperti misalnya Sneeuwitje, Doornroosje, De Schoone Slaapster in Het Bosch dan sebagainya. Sebagai pelengkap pertunjukan “Komedie Stamboel” menyajikan berbagai macam lagu seperti Melayu, Mars, Waits, Polka serta lagu-lagu dansa populer lainnya.
Tata busana yang dikenakan di sini serba mewah dan gemerlapan. Dekorasi berwarna-warni dengan gambar-gambar yang sesuai dengan ceritera yang dibawakan. Untuk mengisi waktu luang antara dua babak disajikan selingan berupa lelucon, nyanyian atau tableau. Dan unsur-unsurnya tampak jelas bahwa “Komedie Stamboel” ini merupakan usaha untuk mewujudkan suatu kesenian modern di tengah-tengah kehidupan kesenian tradisional yang sudah ada dan merupakan suatu usaha memasukkan kehidupan kesenian baru ke dalam masyarakat yang telah melakukan, memiliki dan memelihara kelangsungan hidup kesenian tradisionalnya.
Dan unsur-unsurnya juga terlihat jelas bahwa “Komedie Stamboel” bermaksud menarik publik dari golongan atas dan golongan yang suka pada dansa-dansi, busana-busana gemerlapan, lagu-lagu Barat modern seperti Waltz, Tango dan Polka. Dalam perkembangan kemudian, “Komedie Stamboel” lebih dikenal sebagai “Komedie Bangsawan”.
Rombongan sejenis muncul pula pada sekitar tahun 1926, bemama “Dardanella”. Cerita-cerita yang dibawakan oleh rombongan ini selain gaya “Komedie Stamboel” adalah cerita-cerita khas “Dardanella” seperti De Roos van Serang, Annie van Mendut, Lily van Cikampek, suatu jenis lakon yang kemudian dikenal dengan julukan Indische Roman. Dalam perkembangan “Dardanella” selanjutnya, sedikit demi sedikit rombongan ini mulai meninggalkan gaya “Komedie Stamboel” dan pada akhirnya rombongan “Dardanella” tampil tanpa segala macam nyanyian sedikit pun.
Keadaan seperti ini dikembangkan terus, sampai Anjar Asmara, salah satu anggota terpenting “Dardanella” pada tahun 1942 mendirikan perkumpulan “Cahaya Timur” dan memulai tradisi menyajikan lakon atas dasar teks tertulis (script). “Cahaya Timur” inilah bentukan pertama teater modern Indonesia.
Humor dan lelucon sebagai bagian dari pertunjukan telah ada lama sebelum kesenian dagelan tampil sebagai seni dan pertunjukan. Paling tidak pada tahun 1891 unsur ini telah ada dan menjadi bagian dari pertunjukan “Komedie Stamboel”.
Pada kesenian tradisonal Jawa yang berupa kesenian rakyat, humor dalam pertunjukan baru mulai dijumpai pada tahun 1908, yaitu pada pertunjukan Ketoprak Lesung Wreksodiningratan, yang pada masa kemudian berkembang menjadi Ketoprak Gamelan mulai tahun 1927, sebagai bentuk mula ketoprak yang dikenal dewasa ini. Ketoprak Lesung sendiri sudah ada sejak 1887, tapi masih belum mengandung unsur humor. Ketoprak Lesung peniode pertama itu masih berunsurkan bunyi-bunyian dan tari tarian.
Kesenian tradisional Jawa sebelumnya, yang berasal dan kalangan kraton, dapat diduga bersih dari unsur humor. Bentuknya yang utama adalah “Langendriya” yang berunsurkan tari, nyanyi dan gamelan. Tampak juga bahwa belum begitu lama telah terjadi perbedaan publik dari hasilan kesenian. Kesenian modem seperti “Komedie Stamboel” dengan unsun-unsur Barat dan “pop” yang dikandungnya diadakan untuk dan jelas akan disukai oleh golongan elite, golongan yang bergaul dengan kebudayaan gemerlapan dan dansa-dansi Waltz, Tango dan Polka, sedang kesenian tradisional yang merupakan kesenian rakyat seperti ketoprak sudah barang tentu menjadi milik rakyat. Milik “Common People”, orang kebanyakan. Publiknya adalah orang kebanyakan, yang melahirkannya dan yang akan memeliharanya. Kesenian tradisional yang berasal dari kraton seperti “Langendriya” mempunyai publik dari kalangan priyayi dan para bangsawan.
Sumber : http://ki-demang.com/